Senin, 18 September 2017

an email from time

Tidak semua orang yang sibuk bekerja akan mudah melupakan orang yang sedang ia pikirkan, Erika sibuk berkutat dengan laptop dan laporan keuangan yang harus ia selesaikan sore ini juga. Erika memang terlihat sibuk, namun ia masih saja memikirkan hal lain di dalam otak nya. Sebuah hal yang sulit untuk ia lupakan selama enam tahun ini, banyak orang yang tidak akan mempercayai cerita Erika, maka dari itu ia menyimpannya diam-diam dan hanya ada beberapa sahabatnya saja yang mengetahui hal itu.
Jakarta begitu ramai dan ricuh, namun Erika tetap bersama keheningan malam yang membuatnya nyaman untuk berada disini. Dia merasa lebih baik berada di sebuah ruangan yang sepi dan menghabiskan waktunya di sana bersama pikiran dan kenangan nya, tak lupa ditemani beberapa cemilan yang mempu membuat perutnya terasa kenyang.
Setelah larut malam, Erika mulai merebahkan tubuhnya dan mencoba untuk membuka sebuah e-mail­ miliknya. E-mail yang dulu sering dia gunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang sampai saat ini belum bias dilupakan oleh hati dan pikirannya.
“Lo nggak mau pulang nih?” suara parau Tiwi mengagetkan lamunan Erika. Kedua nya hanya terdiam saling tatap tanpa jawaban, sampai Tiwi membuka mulutnya kembali “Gue mau beres-beres meja gue dulu ya.” Tiwi kembali menghilang dari balik pintu. Biasa nya Tiwi dan Erika adalah karyawan yang pulang terakhir kali setiap ada laporan keuangan di akhir bulan. Tak lama dari menghilangnya Tiwi, Erika mulai kembali kea lam sadar nya dan segera berkemas.
“Eh Wi, Lo naik apa?” Tanya Erika sambil menenteng tas laptop miliknya
“Gue mau naik Ube raja, ini baru mau pesen.” Tiwi merogoh sakunya dan segera membuka aplikasi Uber.
“Gue , eh gue ikut juga ya. Sampe McD aja.” Ujar Erika menerka-nerka tujuannya.
“Yaudah, ikut aja. Yang penting bayar.” Tiwi menyeringai jahat.
“Gilaak lo, masih aja perhitungan. Hahaha.” Tawa mereka pecah seketika.
Driver Uber yang mereka pesan pun sudah dating dan siap membukakan pintu untuk mereka, dengan senyum lebar sambil mengucapkan kata-kata pengantar seperti biasanya.
“Selamat malam mbak, ini tujuan kita ke mana ya?” Tanya sang driver untuk memastikan tujuan mereka. Erika masih sibuk dengan ponselnya, dan Tiwi yang menjawab pertanyaan driver tersebut dengan cepat sambil menggeret Erika yang gila ponsel saat itu.
Uber yang mereka naiki melesat dengan lenggang di jalanan Jakarta yang ramai malam itu, sudah larut malam namun masih terlihat ramai di tengah kota, ibu kota yang satu ini jarang sekali tidur dengan damai. Tiwi mengamati jalanan dan menikmati lampu-lampu jalan yang berkilauan menyambut perjalanan pulang mereka, setelah hamper 30 menit mengitari jalan, akhirnya mereka sampai di depan McD sesuai keinginan Erika.
“Gue cabut ya, lo hati-hati ka” Ujar Tiwi sambil melambaikan tangannya dan menghilang ditelan jalanan malam. Kini Erika sendirian melangkah maju memasuki McD dan segera mengantri untuk membeli beberapa camilan malam.
“Selamat malam mbak, makan di sini atau bawa pulang?”
“Bawa Pulang aja mbak.”
“Pesan apa mbak?”
“Burger Chesee and Chicken nya mbak dua ya.” Pinta Erika smabil emmbuka dompetnya, sang kasir pun menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh Erika.
Setelah membawa makanan berat itu ke rumah, Erika memilih untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu kemudian melanjutkan pekerjaannya sambil memangsa burger yang telah dia beli di McD tadi.
Alunan instrument musik mengalun menemani malam panjangnya bersama laporan akhir bulan. Erika telah menyelesaikan laporannya dan tertidur pulas di atas sofa yang selalu menemaninya dikala lembur di rumah.

***
Setelah satu hari lembur mengerjakan laporan akhir bulan, akhirnya Erika kembali bisa merasakan hembusan nafasnya yang bebas. Dia segera menyebrangi jalan sore itu, menuju McD di daerah Kemang, dan menunggu matahari tenggelam serta beberapa fastfood yang sudah ia pesan. Malam itu Erika benar-benar menikmati kebebasannya dari laporan dan tugas kantor yang selalu hadir dan tidak pernah absen. Sampai akhirnya hujan turun dan orang-orang mulai mencari tempat berteduh dan mengisi perut mereka yang kosong.
Erika memilih tempat di pojokan dekat jendela luar, agar bisa memandang ke jalanan Jakarta yang ramai itu. Mata Erika menangkap sesosok yang sepertinya dia kenal, jantungnya berdetang dua kali lebih cepat, tangannya terasa dingin dan dada nya terasa sesak. Hatinya mengenal seseorang yang ia lihat di luar jendela, dan tatapan mata mereka bertemu tak sengaja. Tentu saja pria itu melambaikan tangannya sambil tersenyum, Erika membalas senyumannya dan entah kenapa reflex saja ia pindah ke meja luar, yang sebenarnya ia tahu hari itu sedang hujan.
“Hai ka,” sapa pria itu
“Hai Land.” Erika membetulkan kursi nya, dan mereka kini duduk berhadapan. Kini dihadapannya ada Aland, seorang lelaki yang selama ini berhasil membuatnya tidak bisa jatuh cinta pada siapapun selain Aland.
Dengan sopan Aland menjabat tangan Erika sopan, Erika berharap hawa dingin di tangannya menghilang sekarang juga, setidaknya Aland tidak harus mengetahui bahwa dia gugup bertemu pria yang sudah menjadi cinta dalam diam nya selama kurang lebih enam tahun ini.
“Lo pulang kerja?” Tanya Erika basa-basi untuk menghilangkan groginya.
“Iya, kebetulan dari kantor, dekat kemang. Terus rencana nya mau pulang, tapi kepikiran mau beli fastfood dulu tadi.” Ujar Aland sambil mengeluarkan kotak rokoknya.
“Dan seperti inilah gue, yang runtuh dihadapan lo, buat natap lo berlama-lama aja gue gak bisa. Dan lo dengan santainya ngeluarin rokok dan nikmatin makanan lo di depan gue. Gue  emang berharap ketemu lo, tapi gak dengan keadaan yang kayak gini Land, gue mau kita ketemu dengan gue yang udah bebas dari perasaan suka gue ke lo.”  Kali ini Erika membatin menikmati runtuh hatinya dan berada diantara dua rasa, senang dan sedih karena telah dipertemukan dengan Aland hari ini.
Setiap hembusan asap rokok yang keluar dari mulut Aland membuat Erika focus kembali memandangi Aland, sampai-sampai ia tak sadar sudah berapa lama ia menatap Aland yang sudah ia rindukan itu. Hanya bisa berkomunikasi via email di zaman mereka SMA dulu benar-benar membuat hati Erika sakit. Erika hanya bisa mengamati Alan dari akun media social nya saja, dan mungkin dari teman-temannya yang tak sengaja menceritakan keadaan Aland sekarang.
“Eh, udah lumayan reda dan udah habis juga makanan gue. Gue pamit dulu ya ka, di habisin tuh makanan lo. Bye.” Aland pamit dan menuju mobilnya sambil melemparkan senyumnya pada Erika yang masih bersama beberapa french-fries dan soda.
“Hati-hati Land, makasih ya udah ngajak ngobrol.” Ucap Erika sambil melambaikan senyumnya.
Kembali Erika menatap nanar mobil yang sudah melaju meninggalkannya malam itu, dia begitu tau mobil dan nomor plat mobil yang Aland pakai, bahkan Erika tahu bahwa Aland sudah menghabiskan dua batang rokok selama mereka bercerita tentang pekerjaan mereka masing-masing. Sementara di depannya masih tersisa kentang dan coke yang harus nya dia habiskan sedari tadi, namun kini rasa laparnya menghilang dibawa Aland.

Untuk beberapa tahun yang lalu, kini akhirnya bisa berhadapan dengan orang yang pernah ia harapkan akan tinggal dihatinya itu begitu sulit ia percaya. Jantung nya belum kembali normal hingga kini, sulit untuk Erika bertahan pada tahap bertatapan dan bertegursapa dengan Aland.
Kembali Erika membuka laptopnya dan membuka sebuah email yang membawa nya ke waktu yang sangat lalu, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, dimana ia masih duduk di bangku SMA. Dimana Aland dan ia sempat membuat chemistry sebagai sahabat dekat, dan tempat curhat. Dan yang terpenting adalah dimana Erika benar-benar merasa patah dan harus bangkit dari cerita cinta nya.
“Ka, gue lagi suka sama cewek nih, anak satu sekolah. Tebak deh!!!!”
Seolah membuat teka-teki yang harus Erika jawab dengan nama nya sendiri, tapi ia mengalihkan pikiran itu dulu, karena ia tahu bahwa Aland mungkin hanya menganggapnya teman biasa, tempat ia berbagi cerita dan tugas di masa SMA.

Sekali lagi Erika menarik nafas panjang saat melihat sebuah foto, ya disana Aland berdiri sambil tersenyum mengacungkan jempol nya dengan snapback  miliknya di tangan Erika dengan tawa yang lebar. Namun foto itu hanyalah kenangan masa lampau, foto paling indah yang Erika miliki bersama Aland.
Setiap Email dari waktu ke waktu isi nya berubah sampai pada suatu email yang menggabarkan bahwa Aland akan menyatakan cinta nya sepulang sekolah dengan gadis yang ia suka. Tentu saja saat itu Erika sudah mengetahui siapa sosok gadis itu, seorang gadis yang tenar karena kegigihannya dalam berorganisasi dan belajar.
“Wajar saja Aland memilih Fira, karena gue bukan apa-apa dimata Aland. Hanya tempat bercerita dan mungkin tempat ia meminta bantuan biar deket sama Fira.” Gumam Erika mengingat masa itu.
Tapi Erika begitu menyesalkan satu hal, kenapa ia terlalu bodoh untuk menyukai Aland hingga kini. Hingga mungkin semua rasa nya sudah terukir untuk satu nama “ALAND” .
“Makasih buat semua nya land, email dan chatyang dulu bener-bener bikin gue bisa baper. Cara lo merhatiin gue, cara lo nurut sama gue disaat gue bener-bener butuh lo. Dimana lo yang selalu ngertiin posisi gue. Dan sampai lo yang memilih menghilang dari gue disaat lo udah punya Fira. Maaf gue hapus semua History yang ada. Semoga ngelupain rasa yang ga berbalas ini bakal dibantu sama waktu dan orang yang tepat.”
Erika kembali menutup laptop nya dan merebahkan tubuhnya, ia hanya membiarkan khayalan-khayalan nya menari di atas kepala nya. Tentang ia dan Aland, tentang ia yang mengharapkan Aland suatu hari bisa benar-benar melihat nya.


Sabtu, 11 Juni 2016

Teruntuk Nur, Cahaya ku (selesai)

Teruntuk Nur, Cahaya ku
by : Ema Widiya


Deru motor disiang bolong itu mengagetkan Anti yang sedang asyik memainkan game tahu bulat di teras depan rumah. Imam sepertinya sengaja membuat adik perempuannya itu kaget.
“Mas, kalau pulang gak usah rusuh toh” Umpat Anti yang masih asyik dengan gadget nya
“Gue punya kabar baik nih, mana ibuk?” Imam langsung meluncur masuk kedalam rumah dan menemui ibunya di ruang keluarga
“Buk, buk Imam minta duit dong buk?” Bujuk Imam
“Assalamualaikum dulu toh Le’ kalau pulang, langsung minta duit aja” Sambar Bapaknya yang sedang menonton pertandingan badminton di televisi.
“Hehe iya pak Walaikumsalam…”
“Kamu ini, nyaut aja. Kenapa mam? Buat apa minta uang siang-siang begini?” tanya Ibunya
“Imam mau Seminar Propsal buk , lusa nanti” Imam melebarkan kedua tangan nya ke atas sambil tersenyum lebar
“Dosenmu ndak sakit toh? Atau kamu ancem?”
“Bapak kok gitu, Imam kan udah bilang pak, Imam bakalan lulus tahun ini. Bapak siap-siap pokoknya”
“Alhamdulillah nak kalau udah ada kemajuan, jadi buat seminar nanti butuh duit berapa?” Tanya Ibunya
“ehm… sekitar empat ratus buk…”
“Banyak amat Le’ buat opo wae?”
“Buat sekalian beli rokok pak, hahaha”
“Kamu itu yo, bapak mu udah berenti ngerokok. Eh malah kamu jadi perokok, gak ada rokok lagi lah pokoknya”
“Justru itu pak, sebagai anak bapak yang baik nih. Imam bakalan ngelanjutin pengalaman merokok bapak selama ini” Imam membusungkan dadanya sambil mengepal tangan kanan nya yang dilipatkan nya ke depan dada.
“Ini anak ndak bisa di omongin yo, bukan itu maksud bapak !!” kali ini Imam tertawa cekikikan mendengar ocehan bapaknya.
“Udah-udah, kamu juga Le’ jangan merokok yo nak. Nanti ibu kasih uangnya”
“Makasih ibuk ku tersayang” Imam segera bergegas ke kamarnya, ia sudah tak sabar menunggu hari dimana ia akan sempro.
Sambil mengamati skripsinya, Imam sebetulnya sangat menunggu balasan surat dari Dillah, padahal baru beberapa jam yang lalu ia memberikan surat itu.
“Hayo, senyum-senyum sendiri kenapa toh mas? Dapat duit sekarung toh?” Goda Anti sambil menyodorkan pakaian Imam yang sudah disetrika
“Belum dek, gue lagi nunggu tuh duit kagak muncul-muncul”
“Ngawur wae toh mas, tilawah sana biar adem pikiranmu”
“Huuh, dasar lu ceramah doang bisa nya” Imam menutup pintu kamarnya dan kembali menatap layar laptopnya.
--~o~o~o~--
Imam meretangkan kedua tangannya ia terlihat lebih rileks dari jam sebelumnya, wajahnya berseri seakan mendapatkan jackpot yang cukup bagus untuk di bagikan.
“Udah kelar lu?” Tanya Reza yang menunggu Imam keluar dari ruangan
“Kelar bro, gue beneran berasa udah mau wisuda nih” Imam menepuk pundak Reza
“Lebay lu, baru tahap awal juga. Puasa Mam?”
“Iya lah, gue puasa terus dong”
“Gimana kabar Nur lu?”
“Belum di bales bro, lama juga nih. Eh iya, lu mau beli rokok gue gak? Masih setengah nih, lima belas ribu aja deh”
“Lu mau ngibulin gue ya? Mahal amat lu jual, tapi ngomong-ngomong kenapa lu mau jual rokok? Udah insyaf?”
“Demi Nuradillah bro, dia alergi asap rokok. Gue harus berjuang nih”
“Gilee, keren lu Mam keren abis.” Reza menggelengkan kepalanya takjub dengan kata-kata Imam.
“Gue itu lagi usaha maksimal Za, lu support gue lah”
“Gue support lu Mam kalau lu beneran berubah, tapi inget yo. Berubahnya karena Allah, perantaranya ya itu Dek Nur”
--~o~o~o~--
“Mas, tolong ambilin toples kue dong di belakang”
“Yang mana dek?”
“Dekat lemari piring itu lho mas, buruan deh”
“Iya ini lagi gue ambil juga’ bawel lu”
“Le’ kamu gak ikut takbiran di masjid?” Tanya Ibunya yang sibuk memotong kue untuk lebaran.
“Boleh nih Buk?”
“Ya boleh lah Le’ kamu toh  kalau ke masjid bakalan bapak izinin” sambung bapaknya
“Eh, kalau gitu Imam ajak bang Farhan sekalian juga ya pak” Imam segera mengambil kunci motor nya dan bergegas menuju rumah Farhan.
Diperjalanan menuju rumah Farhan kini Imam berharap ia dapat bertemu Dillah, dan ingin menanyakan kenapa suratnya tak kunjung dibalas.
“Assalamualaikum, bang… oii bang takbiran yuuk”
“Assalamualaikum, bang Farhan” Imam mengetuk pintu pagar tiga kali namun belum ada tanda-tanda orang rumah untuk membuka nya.
“Pulang kampung kali ya?!?” Batin Imam
“Walaikumsalam, maaf mas mau cari bang Farhan ya?”
Seketika Imam terdiam dibuat oleh sapaan suara lembut yang ia tunggu-tunggu, Dillah keluar dan menyapa nya. Imam terdiam sesaat membuat Dillah yang sudah membukakan pintu pagar merasa aneh melihatnya.
“Cahaya gue nih…”
“maaf mas ini mas Imam ya?”
“Eh iya sorry sorry, Iya gue Imam. By the way gue boleh masuk?”
“Oh iya, silahkan mas. Dillah panggil bang Farhan dulu”
“Bentar-bentar, lu eh maksud gue. Kamu terima surat dari mas kan?” Tanya Imam hati-hati. Dillah hanya tersenyum dan masuk ke dalam rumah, Imam menggaruk kepalanya, ia bingung kenapa Dilla tidak menjawab pertanyaannya.
“Dia denger gak ya pertanyaan gue tadi?” gumam Imam
“Mas, maaf nunggu agak lama. Dillah ragu dan bingung sebenarnya mau ngasih surat nya ke mas Imam gimana lagian Dillah juaa…”
“Imam, maaf toh nunggu lama. Abis beresin kamar sama nyetrika baju kokoh buah besok” Farhan mengagetkan Dillah dan Imam yang sedang berbicara.
“Eh iya bang ayok kita takbiran. Pake motor gue ya” Imam buru-buru menyelipkan surat yang diberikan oleh Dillah.
“Dek, abang pergi dulu ya. Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”
--~o~o~o~--
Tak sabar imam untuk segera membuka surat dari Dillah, selesai takbiran pun ia mengantar Farhan pulang dan langsung bergegas untuk kembali kerumah agar ia bisa membaca surat balasan dari Dillah , yang telah ia tunggu sudah hampir satu minggu ini.
“Surat nya aja bercahaya ini, apa lagi isinya. Bisa menyilaukan mata” gumam Imam sesampainya di rumah
“Opo itu mas?” Anti melirik secarik kertas yang dipegang oleh Imam
“Ora opo-opo “ Imam berlari masuk ke kamar nya ia tak sabar untuk membaca surat dari Dillah.

“Bissmillah… gusti allah semoga gue diterima, eh tapi kan gue gak nembak dia “ Imam membuka lipatan kertas itu dengan pelan namun penasaran…



Imam terdiam menatap balasan surat dari Dillah, ia tersenyum sambil memeluk bantal nya. Tak lama kemudian ia histeris kegirangan sambil bernyanyi entah lagu apa yang ia nyanyikan.
“Besok gue silaturahmi terus gue lamar anaknya pakde Sabar” Ucap Imam sambil memlilih baju kokoh yang akan ia pakai besok.
--~o~o~o~--
“Pak buruan pak, keburu kelar ntar orang sholat Ied nya” teriak Imam
“Tumben kamu semangat banget Le’ “ tanya bapaknya heran
“Udah bapak buruan gonceng ibuk sana, kita ke masjid bareng-bareng” Ajak Imam
Hari itu adalah hari yang paling Imam tunggu, selain datangnya hari raya Idul Fitri, Imam juga tak sabar untuk berkunjung ke rumah Dillah dan bicara dengan orang tua nya. Selesai Sholat Ied berjamaah dan bersalam-salaman meminta maaf dengan para tetangga dekat, Imam dan ekluarga nya kembali ke rumah.
“Maafin Anti ya buk,pak, anti banyak salah sm ibuk sama bapak”
“Kamu toh nduk, baik-baik yo di sekolah” Sambil mengusap kepala Anti, Ibunya tersenyum melihat kedua anaknya yang sedang akur.
“Maafin Imam juga buk, Imam bakal kasih ibuk sama bapak menantu ideal deh”
“Ngawur lagi , ngawur lagi Le’. Selesain kuliah mu dulu” Ujar Bapaknya sambil menyesap the hangat yang sudah disediakan di meja makan.
“Pak, sore ini kita ke rumahnya pak Sabar yo? Udah lama gak silaturahmi kesana. Ibu sudah siapin opor ayam buat di anter kesana nanti”
“Yaudah, Imam sama Anti nanti siap-siap. Bapak mau keliling dulu sama bapak-bapak disini” Ujar bapaknya lalu melaksanakan kebiasaan di lingkungan sekitar saling silaturahmi dan mendoakan dengan tetangga sekitar.
Imam memoles rambutnya dengan gel, serapi mungkin ia ingin penampilannya benar-benar meyakinkan di depan Abi nya Dillah. Beruntung sore ini Ibunya juga ingin kesana, jadi tak ada alasan Imam untuk mengajak mereka berkunjung.
“Dantya Sari, Imam Al-Kahfi, udah pada siap belum nak?” Panggil Ibunya
“Udah bu, Anti udah siap”
“Imam siap banget buk” Ujar Imam
“Yaudah, ayo pergi. Kalau udah siap semua” Ajak Bapaknya, lalu mereka pun melaju ke rumah Dillah dengan membawa Opor dan juga ketupat yang sudah Ibunya siapkan.
“Assalamualaikum… Bu Rini, Pak Sabar”
“Walaikumsalam, eh ada ibu Mei. Masuk buk” Imam dan keluarga nya disambut hangat di hari yang Fitri itu
“Ini Imam kan? Udah besar ya, dulu waktu kecil ngikutin Farhan terus kemana-mana” Ujar Umi nya Dillah
“Buk, Pak” Farhan dan Dillah gantian bersalaman dengan Ibu dan Bapak Imam. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga dan mulai bernostalgia saat mereka menjadi tetangga dekat dulu.
“Imam gimana kabarnya?” tanya Pak Sabar
“Alhamdulillah sehat Bi, Imam bermaksud untuk langsung saja ya Bi…”
“Ngawur meneh mam, opo toh” Sambar bapaknya
“Begini, Imam mau ta’aruf bi dengan Dillah. Kalau diperbolehkan Imam…”
“Imam!!!!” Gerutu bapaknya
“Maaf Pak , dan nak Imam. Maksud nak Imam sangatlah baik ada nya, tapi untuk masalah itu, abi ingin Dillah langsung yang bicara”
“Maafin Imam yo bu, pak” Ucap Ibu nya Imam sambil menepuk bahu Imam, yang di tepuk bahunya malah senyum-senyum tidak jelas.
“Abi, Umi, kalau untuk Dillah sendiri itu ya Dillah gak keberatan, tapi saat ini Dillah masih kuliah dan apa tidak terlalu lama jangka waktu ta’aruf jika Dillah dan mas Imam melakukan ta’arufnya sekarang?”
“Kamu benar juga dek, abang juga setuju sama Dillah Bi. Lagian Dillah masih semester enam, lagi sibuk mau nyusun skripsi nya” Jelas Farhabn
“Jadi gimana itu bang? Gue ditolak nih?”
“Hus, diem dulu mas, dengerin dulu Abinya mbak Dillah” Sembur Anti
“Maaf, biar Dillah saja yang bicara bi. Boleh?” tanya Dillah
“Boleh nak, silahkan”
“Mas, begini. Dillah dan mas Imam sama-sama masih kuliah, untuk ta’aruf pun jangka nya maksimal tiga bulan saja. Jadi menurut Dillah mungkin lebih baik kita mendekatkan diri sama Allah saja dulu, kalau memang mas yakin ingin mengkhitbah Dillah suatu hari nanti, Insyaallah Dillah juga yakin akan menerima mas Imam” Selama bicara Dillah pun tak kuasa menahan malu karena Imam terus memandanginya.
“Mas, denger tuh kata mbak Dillah nya” Ujar Anti
“Kamu ada-ada aja juga toh Mas, mau ta’aruf sama anak orang. Kuliah aja belum kelar, mau khitbah pakai duit bapak mu opo?!?!?” Sahut bapaknya yang lalu tertawa keras diiringi tawa abi dan umi Dillah
“Nama nya juga anak muda jatuh cinta pak, ayo dimakan” ajak Pak Sabar
Mereka pun kembali menikmati kue dan beberapa dodol buatan Umi nya Dillah. Setelah selesai mendengar pernyataan Dillah, kini Imam bertekad akan selalu menjaga perasaannya yang Insyaallah akan diridhoi Allah S.W.T, dan jika mereka berjodoh tentunya mereka akan dipertemukan lagi.
TAMAT ~~~

Jumat, 10 Juni 2016

Teruntuk Nur, Cahaya ku

Teruntuk Nur, Cahaya ku

By ema widiya

Asap rokok mengepul di langit-langit malam, seorang lelaki mengenakan kaos berwarna hitam kini sedang duduk santai didepan Indomaret layaknya tak ada beban apapun yang ia tanggung. Setiap hembusan asap rokok yang ia keluarkan dari mulutnya bagaikan nikmat dunia yang membuatnya lupa dengan segala urusannya.
“Mas, aku udah selesai tarawih nya. Ayo pulang, nanti ibu khawatir toh”
“Iya, bawel, maka nya belajar pakai motor gih. Biar mamas gak repot anterin ke masjid tiap malem gini”
“Lho, bukannya inisiatif ikut tarawihan, ini malah ngeluh toh mas”
“Udah ah, bawel amat. Cabut ayok”
Jalanan lumayan ramai saat para jamaah tarawihan memadati jalan raya , membaur menuju rumah masing-masing.
“Mas, kapan toh berenti merokok?”
Hening tanpa jawaban, yang ada hanya suara mesin motor yang melaju dengan santainya.
“Mas Imam, adekmu lagi nanya toh dijawab mas. Ih ngeselin amat jadi kakak”
“Kamu itu ya anti, bisa nggak diem bentar doang. Mamas mu lagi nyetir mbok yo di biarin fokus”
“Alah, alasan mas Imam doang itu. Mamas gak takut mati opo? Mas, merokok itu bisa bikin mati lho”
“Anti, adek mas yang paling cantik, dengerin mas mu ini yo. Mamas belum mat, belum ada tanda-tanda. Ntar kalo mamas mau mati, mamas kabarin deh beneran”
“Mas, ih ngomongnya suka sembarangan yo. Itu mulut lancar kayak beo”
“Udah, lu diem aja lah. Bentar lagi sampe rumah”
Anti hanya diam selama di bonceng Imam, setelah sibuk mengomeli kakak nya, Anti memilih bungkam karena memang sosok Imam yang susah untuk dinasehati.
“Udah sampe nih,turun gih. Mamas mau masukin motor ke garasi”
“Assalamualaikum, ibuk… Anti pulang buk”
“Walaikumsalam, gimana nak tarawih nya ? ramai gak?”
“Alhamdulillah ramai buk, nama nya masih hari ke-empat puasa buk”
“Eh, gak boleh ngomong gitu, doakan saja ramai terus masjid nya”
“Eh iya buk, nuhun. Anti mau kekamar dulu buk”
“Mamas mu mana toh nduk?”
“Mamas lagi masukin motor buk”
“Oh yaudah, kamu istirahat aja dulu ya?”
“Iya buk”
Anti masuk kedalam kamarnya dan mulai merapikan kasur serta buku belajarnya, besok ia harus kembali sekolah seperti biasa. Anti kini duduk di bangku SMA kelas dua berbeda dengan Imam yang kini sedang merajut masa suram nya di bangku kuliah semester delapan, Imam masih berkutat dengan skripsinya yang tak kunjung ada kabar.
“Imam, masuk nak… udahan ngurusin motor nya”
“Eh ibuk, ngapain ibuk diluar?Imam lagi periksa aki motor buk, soalnya tadi klaksonnya gember gitu”
“Besok-besok aja ya, udah malem”
“Bapak mana buk? Udah balik?”
“Belum, bapak ada lembur dikantornya”
“Sip dah!! Imam mau nge-PES bentar ya buk di dalem?”
“Duh, jangan lama-lama ya. Nanti kalau bapak tau kelakuan kamu bisa-bisa bapak jual itu PS nya”
“Iya buk iya” Imam berlari menuju ruang tengah dimana ia biasa bermain Pes sepuasnya jika tidak ada bapaknya yang selalu membatasi waktu bermainnya.
--~o~o~o~--
“Mas, bangun toh mas sahur”
“Bentar lagi lah lima … lima”
“Mas, cepetan, bapak sama ibuk udah nunggu lho”
“Ah berisik amat lu bawel”
“Imam, kamu mau sahur apa ndak?” kali ini suara bapak yang terdengar tegas membangunkan Imam, sontak imam terduduk dan matanya kini membelalak.
“Iya pak, Imam bangun”
“Bapak tuh capek ya ngomongin kamu mam, nama udah cakep IMAM AL-KAHFI, eh malah jadinya begini? Salah ngidam opo kamu buk?”
“Kok bapak nanya ke ibuk? Ibuk juga gak tau kalau Imam bakal jadi gendeng kayak gini”
“Ibuk, sama bapak gak usah ribut-ribut deh, mendingan kita makan sahur dulu” Imam dengan santainya mengambil nasi dan lauk yang terhidang di meja makan, tanpa menatap kedua orang tua nya yang sedari tadi geleng-geleng kepala saja.
“Alhamdulillah kenyang banget, dah gue cabut” Imam berdiri kemudian sedikit melambaikan tangannya diiringi dengan kantuknya yang begitu terlihat.
“Mas Imam, tunggu sampe subuh toh baru tidur lagi. Kebiasaan deh” Anti menatap Imam sinis sambil membantu ibunya membereskan piring kotor.
“Imam, apa perlu bapak sita motor kamu juga biar disiplin?”
“Yah pak jangan pak, iya Imam tunggu sampe subuh dah beneran” Imam mengangkat kedua jarinya seraya berjanji.
Adzan subuh pun berkumandang dan mereka mulai melaksanakan sholat berjamaah dirumah. Belum lima menit berlalu, setelah selesai sholat subuh pun Imam langsung merebahkan dirinya dikasur tanpa peduli ocehan dari sang bapak.
“Mas Imam, gimana calon istri mu nanti toh” Celoteh Anti
“Kamu yang rajin yo, jangan kayak mamas mu iki” Ujar bapaknya sembari mengejutkan Anti yang menatap Imam tidur di kamar depan.
“Eh iya pak, insyaallah Anti bakal rajin belajarnya. Amit-amit juga kayak mas Imam”
“Hus, jangan ngomong gitu dek. Gitu-gitu juga mamas mu lho, anak ibuk juga”
“Eh iya buk, maaf. Abisnya mamas gitu banget. Kalau gak dimarahin bapak aja gak mau sholat”
“Udah, kamu tidur dulu sana lagi, nanti ibuk bangunin kalau udah jam tujuh”
“Iya buk” Anti kembali ke kamarnya dan beristirahat sejenak, karena bila ramadhan tiba, maka sekolah pun mulai masuk dan belajar pada pukul 08:00 WIB.
--~o~o~o~--
Seperti malam-malam sebelumnya, Imam akan mengantar Anti sholat Isya dan Tarawih berjamaah di masjid. Karena jarak dari masjid ke rumah agak lumayan jauh.
“Mas, beneran gak mau ikut tarawih nih?”
“Gak”
“Mas…”
“gak”
“Adek belum ngomong mas!!, “
“Eh iya, lu mau ngomong apa?”
“Mamas nanti kalau aku udah keluar masjid jemput langsung yo? Males banget mau nyebrang jalan”
“Eh, gue kirain apaan. Iya deh sana tarawih yang rajin kayak bapak”
“Eh mamas kok gitu ngomong nya” Anti berlari kecil menyebrangi jalan menuju masjid yang tak jauh dari Indomaret tempat Imam memarkirkan motornya. Seperti biasa, asap rokok akan menemaninya menunggu adiknya selesai tarawih.
“Imam, gak tarawih?”
“Gak bang, belum mandi hehe”
“Kamu ngomong apaan sih, ayo ambil wudhu, ikutan tarawih”
“Duh bang Farhan mah Imam nunggu disini aja bang beneran”
“Udah ikutan abang yuk tarawih”
Imam terseret ke masjid mengikuti Farhan yang lebih tua satu tahun dari nya, rumah Farhan pun tak jauh dari rumahnya. Imam hanya malas saja bertegur sapa lagi dengan Farhan karena Farhan sudah menjadi remaja masjid sejak SMA berbanding terbalik dengan dirinya yang saat itu adalah remaja tawuran yang mulai belajar nakal.
“Mas imam?!?!?!?” Anti kaget melihat kakak nya keluar dari tempat wudhu laki-laki.
“Ssssttt kayak liat setan aja lu, diem deh” imam memelototi saudarinya itu yang tak kuasa menahan tawa nya.
“Assalamualaikum Dek Danty” sapa Farhan yang juga keluar dari tempat wudhu laki-laki.
“Wa’alaikummussalam bang, ternyata bang Farhan toh yang berhasil nyeret mas Imam” Goda Anti pada kakak nya itu
“Nyeret opo toh? Kebetulan tadi Imam juga mau ke masjid kata nya” Farhan menepuk pundak Imam dan membuat Imam terpaksa tertawa hambar mendengarnya.
“Alhamdulillah kalau gitu, Danty masuk duluan ya bang, mas”
“Iya Danty silahkan” Farhan mengajak Imam memasuki masjid dan meluruskan saff
Selesai ibadah Tarawih dan sholat Isya berjamaah, Anti menunggu Imam yag ternyata masih ngobrol di dalam masjid dengan Farhan.
“Mas, ngomongin apa?”
“Mau tau aja lu”
“Ih, mamas mah gitu”
Anti tak begitu ingin tau, dia hanya bangga saja pada kakak nya ini yang akhirnya melaksanakan tarawih walau sudah mendekati malam lailatul qodr.
--~o~o~o~--
“Buk , Imam pergi kerumah bang Farhan lagi ya”
“ngerjain skripsi lagi?” tanya ibunya
“Iya buk. Imam pergi buk…”
“eh, assalamualaikum” sambung Imam sambil menghidupkan mesin motornya
“Walaikumsalam” sahut Anti dan Ibunya
“Buk, udah seminggu ini lho mas Imam main ke rumah bang Farhan terus” Anti menyikut ibunya yang sedang sibuk mengaduk soto ayam untuk lauk buka puasa.
“Eh, kalau ibu pikir-pikir iya juga yah, mamas mu lebih rajin sejak ketemu Farhan di masjid”
“Duh ibuk, kayaknya mas Imam lagi kesemsem buk”
“Kesemsem apaan ya dek?”
“Ah ibuk mah gitu, kesemsem itu lagi kena virus merah jambu buk”
“Oalah, iya toh? Mamas mu mau kesemsem sama siapa disana?”
“Mana Anti tau buk”
“Eh, ibuk baru inget, Farhan itu kan punya adek perempuan toh, setahun dibawah Imam”
“Wah iya , mbak Dillah” Anti ikut nimbrung ucapan ibunya yang kini membuat mereka tersenyum jika harapan mereka benar terjadi.

Imam dan Farhan mengerjakan skripsi Imam yang kebetulan berkaitan dengan hasil skripsi Farhan dulu, tanpa keberatan Farhan mengajarkan Imam tentang penelitian yang ia ambil.
“kalau tau gini bang, gue dari dulu nemuin abang minta tolong”
“Hahaha kamu toh ndak berubah yo, aya-aya wae guyonan mu mam”
“Mas, aku pergi dulu yo” suara lembut itu lagi, membuat Imam tak kuasa menahan pandangannya.
“Iya dek, hati-hati yo”
“Iya mas, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam” hening diantara keduanya Imam masih pangling melihat gadis cantik yang lewat beberapa hari ini didepan mata nya. Ia seakan teringat ucapan Farhan malam saat pertama kali ia tarawih.
“Bang, itu  yang ngobrol sama bang Farhan ,siapa?” Imam bertanya pada beberapa orang yang lewat
“Itu Nur, adikk nya Farhan”
“Gilaak! Cantik, bening dah”
“Astagfirullah, Imam jaga mata. Ayo keluar”
Imam tak henti melirik gadis yang bernama Nur itu sampai ia menabrak tiang masjid yang ada tepat didepan matanya.
“Imam, hati-hati toh kalau jalan” Farhan buru-buru membantu Imam berdiri
“Hehe iya bang, salah fokus tadi. Eh iya bang, abang jurusan ekonomi juga kan?” Imam memulai misinya untuk bisa bertemu Nur dan koneksinya mungkin melalui abangnya, yaitu Farhan.
“Hei mam, kok malah melamun?” tanya Farhan yang sedari tadi menjelaskan penelitiannya.
“Eh iya sorry bang lagi gak konsen tadi”
“Hayo kenapa nih? Kamu ngeliatin Dillah ya?”
“Dillah siapa bang? “ Tanya Imam bingung
“Oalah, tak pikir kamu udah tau nama adikku mam. Salah sangka aku, nuhun yo”
“Eh, iya bang , gak apa-apa”
“Itu lho ukhti yang barusan lewat tadi adikku, namanya Nuradillah Savira. Dia lagi kuliah di jurusan Farmasi”
“Oalah, cantik ya bang. Kayaknya ukhti-ukhti banget” Imam tersenyum masam saat ia mendengar kalimatnya sendiri.
--~o~o~o~--
Imam kembali menemui dosen pembimbingnya yang kali ini ia harus mendapatkan acc untuk mengajukan seminar proposalnya.
“eh koe ngapain kesini mam?” ledek Reza sahabat dekat Imam
“Gue? Tungga lu, bakalan gue susul deh, di acc nih ntar” dengan percaya diri Imam memasuki ruang dosen dan tak sgelintir umpatan ia dapatkan namun ia berhasil mendapatkan tanda tangan acc untuk melanjutkan seminar proposalnya.
“Ajegile, tumben lu rajin, udah mau ngejer gue nih mam”
“Iya dong, gue mau buru-buru Za, ntar diambil orang” Imam berlari menuju parkiran dan berteriak kegirangan
“Sempro ada yang mau ngambil? Gila kali si Imam”
Diperjalanan pulang, Imam sengaja mampir ke toko bunga, ia membeli secarik kertas dan setangkai mawar merah. Entah apa yang ada dipikiran Imam saat ini, ia bertekad untuk memulai misinya.
Imam memasukkan sebuah amplop yang ia tempelkan dengan bunga mawar merah yang baru saja ia beli tadi. Sengaja ia menunggu Dillah pulang agar surat tersebut langsung diterima oleh tuannya. Imam mengintip di balik warung manisan tepat di sebrang rumah Dillah, menikmati paras muslimah sholeha itu dan kini pikirannya kembali risau karena jilbab Dillah yang mengulur lebar menutupi dada dan bahunya.
Imam kembali berpasrah dan tersenyum melihat Dillah mengambil surat dan mawar itu, melihat Dilla tersenyum geli saat melihat setangkai mawar yang ia pegang.
“Udah pulang dek?” tanya ayahnya
“Udah bi, abi mau kemana udah rapi?”
“Abi mau ke musholla dulu, sholat Ashar disana sekalian ngajarin anak-anak ngaji”
“Oh iya bi, Dillah masuk dulu”
Dengan lembut Dillah membuka surat yang ditujukan padanya itu, tak ada nama pengirim di amplop tersebut, namun ia berharap akan ada nama di secarik kertas lipatan itu…



Bersambung ... :p

Oracle Books

Oracle Book’s
By : Ema Widiya

Sebuah buku tergeletak di bawah meja belajar Katherine, seolah dia meminta untuk di baca dan di rapalkan dalam keadaan sunyi dan gelap malam itu. Buku itu berwarna Cokelat muda namun pudar dan kusam, di depannya terdapat lambang Matahari dan bintang serta simbol zoddiak di pinggiran matahari tersebut. Terdapat sebuah huruf balok bertuliskan “Oracle Book’s” yang menyatakan bahwa buku itu adalah buku milik seorang oracle atau peramal masa depan.
“Buka lah, dan rapalkan semua yang kau lihat” Seolah buku itu bicara pada nya, Katherine melepaskan buku tersebut dari tangannya.
Sontak Katherine bingung dan takjub saat melihhat buku tersebut berpendar hijau, sepertinya roh oracle menyukainya. Dan dia mulai terhisap kedalam buku tersebut, Katherine merasakan hawa dingin namun dia bisa melihat sebuah gua di dalam hutan dan juga bayangan akan sekolah nya tempat dia belajar.
“Katherine!!!” Sebuah suara mengejutkannya dan membuatnya bangun, dia heran mengapa dia sudah ada di atas tempat tidur nya.
“Ibu?” tanya Katherine
“Ayo bangun, apa kau ingin ditinggal bus sekolah?” tanya ibunya yang sibuk membuka jendela kamarnya
Katherine masih tidak mengerti dengan apa yang dialaminya semalam, itu seperti mimpi, namun dia merasakan hal itu sungguh nyata. Dia memeriksa buku PR-nya, namun dia kaget setengah mati saat menemukan buku Oracle sudah bertengger manis di dalam tas sekolah nya.
“Katherine” panggil Sammi, teman sebangku nya
“Sam? Sejak kapan kau duduk di sini?” Tanya Katherine
“Sejak kau mengamati buku PR-mu” Ujar Sammi yang ikut mengintip ke dalam ransel Katherine
“Astaga, kau punya Oracle Book’s?? kau yang terpilih Kat” Ucapnya sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya
“Terpilih?” tanya Katherine
“Ya, kau bisa melihat masa depan Kat, dan bisa merapalkannya lalu semua rapalan mu akan menjadi nyata” Sammi kembali membungkam mulut nya
“Bagaimana cara Oracle ini memilih?” tanya Katherine penasaran
“Bagaimana cara mereka memilih, aku pun tidak tahu secara pasti. Kau harus menjadi orang yang bisa di percaya untuk merapalkan ramalam Oracle, namun berbahaya jika kau menerima nya”
“Bahaya apa yang akan diterima? Kenapa aku sama sekali tak tahu tentang ini?” tanya Katherine heran
“Oracle bisa membunuhmu ketika kau tak menuruti perintah ramalan nya yang harus kau rapalkan. Kau tahu, Di negara kita Costa Rica. Para Oracle tidak akan diterima di sini, karena dulu sang Oracle jatuh cinta pada Pangeran Romawi dan tak mau merapalkan kematian Pangeran di medan perang yang akan di hadapi sang Pangeran”
“Oracle dilarang jatuh cinta?”
“Ya begitulah dongeng yang ku dapat dari ibuku
“Jadi itu hanya dongeng?” Katherine mulai kesal dengan Sam
“Tapi aku mempercayainya, bahkan nenek ku berkata kalau sang Oracle adalah teman kecilnya”
“Aku tak percaya” Ujar Katherine
“Tapi…”
“Apa yang kalian bicarakan? Oracle? Aku ingin menjadi Oracle, karena itu bisa membuatku tampak muda setiap tahunnya” Ucap Valensi yang selalu ingin terlihat cantik.
Katherine dan Sammy hanya saling pandang lalu Valensi pergi sambil mengibaskan rambut panjangnya.
---
Katherine kembali mengamati buku milik Oracle yang kembali berpendar dengan cahaya hijau nya mengelilingi buku tersebut. Sebuah roh berpendar hijau berwujud seorang wanita tua yang sepertinya ingin memeberitahukan sesuatu, tanpa Katherine sadari, dia terhipnotis oleh cahaya hijau di depannya itu. Tubuh kurus Katherine seperti memeluk roh Oracle yang berusaha mengapainya, tangannya terbuka lebar menyambut roh Oracle.
“Ketika hutan telah terbuka, maka aku akan kembali”
Tubuh Katherine terkulai lemah, lututnya tak sekuat lima belas menit yang lalu. Dia kebingungan sampai akhirnya sebuah buku terjatuh menghantam kepala nya.
“Awww” Erang nya
“Oracle Book’s” Pelan-pelan dia mengamati isi buku tersebut, Dia buka lembar demi lembar. Membuat nya melihat dan menguak masa lalu, dia seakan berada di dalam sebuah kerajaan Costa Rica yang saat itu sedang melakukan sebuah peperangan besar dengan tentara Romawi.
Seorang raja terlihat marah di depannya menyilangkan tangan serta sedang mengamati pasukan yang sepertinya dia pilih untuk melakukan pertempuran.
“Kau harus bisa membawa pasukan menuju kemenangan dan sebagai imbalan, kau akan ku naikkan titah” perintah sang raja
Katherine mendapati dirinya berdiri di sebuah balkon, dia dapat melihat lantai kolam yang mulai mengering, abu yang terbang kesana dan kemari dari rumah-rumah penduduk yang hangus terbakar. Disebelahnya seorang wanita mengenakan gaun indah berwarna hijau duduk bersila, di kepalanya terdapat sebuah mahkota kecil. Wanita tersebut tiba-tiba berdiri, wajah nya cantik namun juga kuyu karena ditempa penderitaan.
“Aku melihatmu lagi” Ujar wanita cantik itu
“Kau takkan meninggalkanku kali ini bukan? Kau takkan mati hari ini, Pangeranku. Kita akan keluar dari peperangan ini, dan akan membuat kedua negara menyatu”
“Aku akan kembali untuk menemui mu, tapi aku akan tetap berperang hari ini” Seorang Lelaki tampan menaiki kuda hitamnya sambil tersenyum
“Siapa kalian?” Tanya Katherine
Wanita itu tersenyum sedih, sosoknya mulai berpendar hijau hingga kilaunya memenuhi balkon dengan sinar yang menyakitkan mata. Udara berdengung karena munculkan dua pasukan dari negara yang berbeda, peperangan sedang dimulai. Ketika pendar tersebut padam dan hilang, Katherine kembali tersadar dan kini dia berada di kamarnya berdiri di depan sebuah buku yang sudah terbuka lebar di genggamannya. Terdapat sebuah tulisan pada halaman berikutnya yang membuat Katherine merinding ngeri membaca nya.
“Aku telah menyatu dengan tubuh ini, ku biarkan perang terus terjadi sampai tubuh ini hilang dan membunuhku”
“Tunggu” Kata Katherine menekankan penyataan pada buku itu
“Siapa ? wanita mana? Perang apa?” Kepalanya bertambah berat memikirkan hal-hal ajaib itu.
“Katherine, apa kau di dalam” Sebuah suara menjawab pertanyaan Katherine, dia harus sadar bahwa sekarang ini dia berada di rumah.
“Ibu, apa Ibu tahu soal buku ini?” Katherine menunjukkan buku Oracle yang di temukannya beberapa malam lalu.
“Nenekmu bicara pada mu?” Tanya Ibunya
“Aku bermimpi” Tukas Katherine
“Baiklah, apa kau mau membagi mimpimu dengan ibu?”
Katherine mulai menceritakan mimpi aneh nya , iya semua yang dialaminya itu dia anggap sebagai mimpi.. Tapi tetap saja dia ragu, apakah itu mimpi atau nyata. Cahaya yang berpendar, serta perang antara Costa Rica dan Romawi.
Ibunya tidak menjawab, hanya terdiam sampai beberapa menit. Katherine menatapnya penuh pertanyaan yang mungkin akan memusingkan, mereka tengah terdiam dan saling menunggu jawaban.
“Kau harus menjauh dari buku ini, ibu akan menyimpannya” Tukas ibunya
“Aku penasaran” Katherine mengambil buku itu kembali
“Ini berbahaya, ini ulah nenekmu”
“Kenapa ibu menyalahkan nenek?”
“Kau.. kau tak perlu tahu, kau hanya harus sekolah dengan baik” Katanya
Katherine ingin berteriak bahwa ibunya keliru, Buku itu tidak ada hubungan dengan neneknya. Buku itu milik Oracle yang membawanya kembali ke masa sejarah dahulu. Namun dia terlalu lelah untuk berdebat dengan ibunya.
---
Katherine kembali ke sekolahnya, namun kali ini berbeda. Dia melihat sebuah hutan terbuka di belakang sekolahnya, segera dia masuk ke dalam hutan dan menemukan buku Oracle tertutup rapi. Buku itu seolah menuntunnya ke sebuah Gua yang tertutup oleh tanaman menjalar.
Buku itu kembali berpendar dan membuat Katherine mendapati dirinya di tengah peperangan besar, sang raja berteriak sambil mengayunkan bilah pedangnya yang panjang dan siap untuk menebas siapa saja yang menghalaginya.
“Ambil kembali Oracle Delphi yang hilang” Pangeran berteriak keras dari sebrang tembok kerajaan.
“Dia sudah bersatu dengan anakku, dan tak akan ku biarkan kau membawanya” Jawab sang Raja
“Aku mencintainya!!! Aku tak akan diam saja” Kata Wanita bergaun hijau
Katherine bingung dan melihat wanita itu kembali berpendar, memperlihatkan cahaya hijau yang amat terang. Mulut nya siap merapalkan sesuatu yang akan terjadi saat itu, namun wanita itu menjerit seketika. Ia mengerang kesakitan saat berusaha membungkam mulutnya.
“Kau !! Pangeran Jullian.. Menjauh.” Katanya “Tidak, kau akan mendapatkan ramalanmu” Kali ini berasal dari sebuah suara yang berbeda namun dari mulut yang sama. Ya wanita ini menahan rapalan ramalan, ia mencoba memerangi Oracle ini sendirian. Ia ingin menyelamatkan cintanya.
“Putri Phytia, apa kau baik-baik saja?” tanya Pangeran Julian
“Aku mencoba nya, ku mohon menjauh” Putri Phytia mulai terisak
Seketika tubuh Putri Phytia berpendar hijau, segera ia berlari menuju kehutan terdekat. Seketika tubuhnya melebur bersama cahaya hijau yang menyilaukan mata, membuat seisi Costa Rica dipenuhi debu cahaya berwarna hijau seakan ledakan besar..
Katherine menutup mulut nya dengan kedua telapak tangannya ia ingin berteriak meminta pertolongan namun dia sadar bahwa kini dia berdiri di dalam sebuah gua yang di penuhi tumbuhan menjalar dan di temani dua buah tengkorak manusia yang membuat bulu roma nya berdiri.
Kini ia mendengar bisikan, seolah kedua tengkorak itu saling berkomunikasi. Katherine merinding dan mulai menoleh kesana kemari untuk meyakinkan dirinya bahwa dia berada dalam mimpi.
“Kau harus melanjutkan generasi oracle”
“Kau cucu ku, jangan dengarkan ibumu”
“Dia penerus kita”
Katherine bingung dan mencoba berteriak, namun suara nya tak terdegar, ia mencoba menghantamkan kakinya ke tanah. Namun hanya sebuah debu yang berpendar hijau menyelimutinya, dia mulai panik dan diambilnya buku Oracle yang tergeletak di depan kedua tengkorak tersebut.
Ia membuka lembar demi lembar sebuah ramalan yang belum terbaca di Costa Rica dulu yang bertuliskan “Cinta akan membawamu kepada kematian dan kasih sayang hanyalah bualan belaka. Bunuh semua yangmenghalagi mu, maka kau akan kekal”  Katherine mencoba menahan diri untuk tidak merapalkan ramalan itu. Dia mencoba mengingat apa keinginan oracle itu, setelah seperkian detik dia sadar bahwa oracle tak mau Putri Phytia jatuh cinta. Karena sang Oracle membutuhkan sebuah tubuh untuk merapalkan ramalan.
“Aku tidak akan merapalkan ramalanmu, kau penyihir terkutuk, kau adalah roh penghacur kota kelahiran nenekku”
“Aku nenek mu, kau adalah cucu ku. Keturunan ke empat dari Putri Phytia” Sebuah suara bergema meruntuhkan beberapa batu pada gua tersebut. Buku Oracle yang tergeletak di lantai gua kini berpendar hijau menyilaukan mata, seakan memaksa Katherine untuk tetap merapalkan ramalan yang harusnya menghancurkan kota.
Katherine memutar bola mata nya dan ia melihat sebuah tongkat dengan ujung pisau yang tmasih terlihat tajam di genggaman salah satu tengkorak oracle yang terduduk di lantai gua itu. Katherine mencoba mengambil tongkat itu namun bumi seakan ikut marah padanya dan kini terjadi guncangan besar.
Katherine berusaha menggapai buku oracle yang kini memancarkan roh dengan cahaya hijau di antara lembaran-lebarannya, Katherine tercekat seolah roh itu mencekiknya dan berusaha masuk kedalam tubuhnya.
“Katherine!!!!” Panggil sebuah suara yang membuat Katherine menoleh namun tetap dengan nafas yang sesak
“Ibu, tolong aku” Isaknya
Katherine mengumpat roh Oracle tersebut yang bisa saja membuatnya tambah menderita, kini ibunya berusaha menutup buku tersebut lalu ia berusaha menarik Katherine dari gumpalan asap roh Oracle yang menyelubungi putri kesayangannya itu.
Bersama-sama mereka menancapkan ujung pisau tersebut kedalam buku, namun Katherine sudah dirasuki oleh roh Oracle itu, mata nya bersinar kehijauan. Mulutnya siap merapalkan ramalan.
“Dan aku akan merapalkan sebuah ramalan..”
“Jangan Katherine, ibu mohon” namun angin menghantam keras tubuh ibunya ke balik dinding gua.
“Bumi akan berguncang, hantaman dahsyat akan tiba dan Oracle Delphi akan hilang untuk selama-lama nya”
Mata nya berganti warna, hijau-coklat dan seperti itu dalam waktu singkat. Sang Oracle mengumpat kesal namun masih dalam tubuh Katherine.
“Bodoh!! Bukan itu ramalan nya. Aku akan hidup kembali”
“siapa yang bodoh? Mungkin bukan aku”
Kelihatan seperti orang gila, namun Katherine senang sudah merapalkan ramalan yang salah untuk snag Oracle. Namun kini ramalan tersebut terjadi, gunung sedang meletus di Costa Rica membuat sebuah guncangan dari kerak bumi. Badai mulai menghantam pesisir pantai, Oracle dan bukunya mulai terbakar habis, kini Katherine harus berlari, namun kedua kakinya masih sangat sakit untuk diandalkan.
“Ibu harus lari, ibu harus pulang”
“Tidak, ibu akan membawamu…”
Entah apa yang terjadi, Katherine hanya bisa terbaring lemah saat gempa bumi terjadi. Ia tak melihat apapun di sekeliling nya, hanya gelap yang menemaninya saat ini dan terakhir kali, ia hanya melihat 3 wajah Oracle delphi yang rupawan tersenyum kepadanya berterimakasih.
---
Sinar matahari menyibak masuk melalui celah kecil jendela kamar Katherine, kini ia telah sadar dari mimpi buruknya, ia melihat jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, ia harus bersiap kesekolah dan ia sedikit merasa kehilangan beban di pundaknya.
“Ibu.. apa kemarin?”
“Rahasiakan ini dari manusia fana, ibu bangga pada mu. Kemarin hanya terjadi ledakan gunung berapi, kau harus belajar seperti biasanya”
Katherine tersenyum pada ibunya, kini ia merasa bangga karena sudah menyelamatkan kota yang ia cintai. Dan menurutnya tak semua masa depan itu harus diketahui sekarang bukan? Biarkan saja masa depan yang terjadi menjadi rahasia, agar kita bisa berusaha lebih dan lebih lagi…
The end..